Mencari Rupa Cinta Dalam Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono
Oleh: Muhammad Zaini*
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono, (1989)
Manusia adalah homo ludens yang punya hasrat, rangsangan dan ingin. Dalam perjalanannya, cinta adalah bagian yang tak bisa lepas dari perjumpaannya dengan “yang lain” yang terus saling tumpang tindih dengan rasa benci. Pada akhirnya cinta dan benci memiliki pengertiannya sendiri di benak masing-masing individu.
Di antara hangar-bingar keanekaragaman yang terus menyeret kita ke dalamnya, arti cinta semakin sulit diterka dalam momen-momennya. Sinetron bilang cinta, pembunuhan menghunuskan cinta, koruptor menyelip cinta dan iklan pun menyatakan cinta. Seolah cinta terus menampak, mengolah dirinya dan muncul menjadi sesuatu itu. Bagaimana Sapardi (sebagai penyair) menorehkan rupa cinta?
Saya sedikit bingung, apakah pembacaan saya atas puisi beliau merupakan “saya” atau puisi itu sendiri. Sebab Sapardi pernah bilang, (kurang lebih bagini maksudnya) jika puisi diterjemahkan maka hasil darinya adalah pengalaman penejemah sendiri atas puisi tersebut dan tidak lagi menghadirkan puisi itu utuh seperti sedia kala. Tapi bagaimanapun saya dibikin bingung oleh ungkapan-ungkapan yang seperti itu, saya tetap merayakannya.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Pada baris pertama dari bait pertama ini saya terfokus pada nuansa kata “sederhana”. Kata ini mengategorikan keadaan (sifat) dari ungkapan sebelumnya, yaitu “mencintai”. Terlepas dari keterkaitanya dengan kata yang lain, kita akan mengandaikan kata tersebut dengan keseharian yang kita temui. “Sederhana” dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Cet. Ke-3: 1990) dikategorikan kata sifat yang memiliki arti: sedang, bersahaja, tidak banyak seluk-beluknya, dsb. Di sana dicontohkan: hidupnya selalu bersahaja. Dalam baris Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, mengahadirkan keinginan cinta dengan (sikap) yang sederhana. Cinta yang dihadirkan bukan cinta yang lain, pasif atau progresif, nafsu atau hal yang mengawang, dan ataupun wujud yang lain. “Mencinta” di sini hadir dengan wajah yang sederhana, sedang dan tak berseluk-beluk.
Namun sebelum imaji saya beterbangan kemana-mana dengan kata “sederhana”, kembali saya dihadirkan dengan nuansa lain dari makna “sederhana”. Baris ke-2 dan ke-3 adalah semacam penjelasan akan kata “sederhana”, bagaimana ia menjadi sifat mencinta dalam puisi ini.
Ada sebuah ketertundaan pada maksud “…kata yang tak sempat diucapkan…”, namun tetap dirasa sebagai sesuatu yang utuh. “kata” menjadi mendium dari sebuah ungkapan terimakasih, rasa kagum, ingin dari “kayu” yang sampai pada tahap tertentu lantaran “api”, yaitu “abu”. “kata” jika diucapkan akan menjadi ukuran, sejauh mana rasa terimaksih kayu akan tergambar. Bisa jadi uangkapan dari “kata” menjadi hal yang biasa, muluk-muluk ataupun tak sesuai dengan maksud perasaan dan menjadi hal yang tidak sederhana lagi. Ketika “kata” tak sempat di utarakan, maka ia akan menjadi hal yang tertangguh dalam benak, terbawa dalam sikap sehari-hari. Pada akhirnya sikap itulah yang benar-benar hidup dan menjadi ungkapan sebenarnya yang lebih utuh, tulus dan sederhana.
Yang Meniadakan
Aku ingin mecintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sedari tadi saya terusik dengan ungkapan metaforis© dari sajak ini. Saya bertanya-tanya, “kenapa ungkapanya menggunakan sesuatu yang saling meniadakan (api meniadakan kayu, hujan meniadakan awan)? Bukankah ini tentang cinta yang notabene tentang keutuhan?”. Namun saya tersadar setelah menyimak lebih lekat kata “sederhana”. Karena menurut pandangan sementara saya, baris-baris selanjutnya bermuara pada kata itu. Di lain hal, penggunaan metafor tersebut tidak mengandaikan maksud saling meniadakan tetapi sebuah proses keberlanjuntan. Jadi keberlanjutan itu seolah kebutuhan yang mesti ada untuk sampai pada wujud selanjutnya. Kayu tidak akan menjadi abu tanpa api membakarnya begitupula awan tidak akan lenyap bila hujan tak mengurainya.
Proses peniadaan seolah tak terhentikan, bahkan barang sedetik pun. Oleh karena itu, “penyampain” pada cerita dalam puisi itu seolah terhalang oleh berlangsungnya proses. Namun justru dengan metaforis yang seperti ini ungkapan tersebut menghadirkan macam-macam penafsiran tentang mencinta.
Saya kira untuk menemukan yang lebih dalam tentang cinta, (dan mencinta) dalam sajak ini, selanjutnya adalah tugas anda. Karena bagaimana pun pengalaman diri mencinta juga ikut terlibat dalam menemukan rupa cinta pada sajak ini. Apakah sesungguhnya yang terselip di balik ungkapan metaforis yang saling meniadakan dalam sajak di atas.
*Muhammad Zaini
Mahasiswa UIN Jogja. Berkhidmat di Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
Sharingan said,
11 Maret , 2008 pada 6:30 pm
Sungguh, begitu dalam makna cinta, sehingga melampiaskannya laksana meniadakan. Yah dengan cinta, pandangan kita akan lurus ke depan, tak sisi kanan dan sisi kiri. Tajam tanpa goresan. Ah cinta, begitu paripurna engkau…
Salam
agusjay55 said,
30 Mei , 2008 pada 3:37 am
Sajak seringkali lebih utuh dlm menyampaikan sesuatu dibanding teks biasa. Saya jg br donlot musikalisasi sajak ini. Keren
supriadi said,
3 Desember , 2011 pada 10:32 am
minta link donloadnya donk!! thx.
Hari said,
30 Januari , 2012 pada 1:18 am
ada baiknya kita menghargai karya para seniman denga membeli CD Dari karya mereka dan menghindari mendonlot karya bajakan. cdnya tidak mahal, dapat dipesan di Eksotika Karmawibhangga. Album “Gadis Kecil” cuma 15ribu. kalau album terakhir, “Becoming Dew” 50rb.
Harap dicatat: Saya bukan staff marketing Eksotika dan tidak punya kaitan apa-apa dengan komunitas itu.
mohon maaf bila tidak berkenan.
Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana « |A|d|i|T|r|e|s|s|a|n|t|o| said,
21 Juni , 2008 pada 10:40 am
[…] another artikel: majalah ummi M. Zaini […]
iben el muallef said,
2 Agustus , 2008 pada 5:31 pm
zen………………
kapan kau kirim karyamu……
zen aku tetap mencintainya……………
ocha... said,
13 Agustus , 2008 pada 1:12 pm
kata2 indah bermakna indahh… sungguh membuat iri.
Kang Nur said,
5 November , 2008 pada 4:27 am
Saya tidak tahu apakah maksud Sapardi dg puisi ini juga utk menggambarkan cinta ‘mistis’ antara seorang hamba dgn Tuhan-nya? (mis: dlm Islam termasuk “tasawuf”?) Bila demikian halnya, maka ‘pemahaman’ atas puisi ini dapat disejajarkan dg pemahaman atas Syair Abu Nawas atau puisi Rabi’ah Al-Adawiyah. Dlm bbrp hal juga dapat membawa pengertian ‘wihdatul-wujud’-nya Al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi atau Syekh Siti Jenar.
Bila demikian halnya, maka tak mengherankan bila ungkapan yg dipakai utk memberikan cinta yg sederhana itu adalah dgn jalan ‘meniadakan diri’. Bila yg digambarkan di sini adalah cinta hamba thd Khaliq-nya, itu tak mengherankan. Maka saat Syekh Siti Jenar dipanggil oleh Wali Songo dg redaksional: “Syekh Siti Jenar dipanggil ke Demak”, ia menolak dg bilang. “Syekh Siti Jenat tak ada, yg ada hanyalah Allah”. Lalu ia dipanggil dg kata:”Allah dipanggil ke Demak”. Ia bilang:”Allah tidak ada, yg ada hanyalah Syekh Siti Jenar”. Lalu terakhir ia dipanggil dg:”Allah dan Syekh Siti Jenar dipanggil ke Demak”. Barulah ia mau datang ke Demak. Begitu kata dongeng mitos yg beredar.
Cinta seorang ibu kepada bayinya/anaknya juga seringkali sampai kpd pengorbanan nyawa. Ibu rela mati agar anaknya tetap hidup. Ini berarti ia mau “tiada” agar anaknya tetap “ada”. Ia mau jadi ‘abu’, asal ‘api’ anaknya terus menyala. Ia ‘awan’ yg rela menjadi tiada, agar ‘hujan’ itu menjadi ada.
Selanjutnya dapat juga pengertian yg semacam ini kita dapatkan dalam syait Kahlil Gibran ttg cinta. A.l. ia sebutkan bahwa orang yg mencinta itu bagai biji gandum yg siap-rela tertumbuk-tergiling utk mendapat gandumnya, melepas diri dari kulit.
Bila cinta datang padamu, relakan sayap-sayapnya merengkuhmu…
meski ia juga bagai belati yg ‘kan melukai….
…
🙂
Ahmad Makki said,
2 Desember , 2008 pada 8:58 am
Saya pikir pertanyaan pertanyaan “mengapa memakai metafora yang saling meniadakan (api membakar kayu, hujan meniadakan awan)?” dapat terjawab lebih gamblang jika kita mengingat kata sebelumnya “kata yang #tak sempat# diucapkan”, dan “isyarat yang #tak sempat# disampaikan”. Artinya cinta seperti kata/isyarat yang “tak sempat” diucapkan/disampaikan. Jika saja sempat dikatakan/disampaikan, maka api/hujan tidak akan sampai hati membakar/ meniadakan kayu/awan
Ahmad Makki said,
2 Desember , 2008 pada 8:59 am
Mohon maaf, hanya sumbang saran. Salam kenal, nice blog.
sweetestar said,
3 Januari , 2009 pada 3:29 pm
“Aku ingin” adalah salah satu puisi favorit aku sejak aku mengenal sesuatu yang tak berwujud namun dapat dirasa, bernama CINTA….
Salam kenal..
XXX said,
18 Februari , 2009 pada 11:50 am
pertama kali aku denger sajak ini,, aku langsung mencari makna sajak itu. ternyata itulah isi jeritan hatiku selama ini kepada DIA.
wira said,
19 Maret , 2009 pada 4:47 pm
“Aku Ingin” adalah sebuah maha karya cinta yang lahir dari hasil sebuah renungan yang panjang akan sebuah kasih yang sederhana. Dalam puisi ini saya sangat senang membaca kata-kata “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”, bagiku makna dari kata-kata ini teramat dalam, banyak yang bisa kita renungkan dengan kata-kata ini, segala sesuatu bisa termasuk didalamnya, kata-kata ini mengandung arti dari ketulusan dalam menjalani sesuatu, seperti “kata yang tak sempat dikatakan kayu kepada api yang menjadikannya abu”, itulah ketulusan, ketulusan dalam hidup kesetiaan, kejujuran, pengorbanan, dan proses dari itu semua, yang didasari oleh rasa ketulusan sampai “akhir ” yang akan datang menghampiri.
Hesti said,
19 Juli , 2009 pada 5:57 am
Puisi tsb trkandung ktulusan yg dlm, bnr2 salah satu maha krya cinta yg indah dan inspiratif
betty hera said,
25 September , 2009 pada 4:03 pm
puisi yang menginspirasi
Nicholas said,
20 Oktober , 2009 pada 6:07 pm
aku ingin mencintai mu secara sederhana ” benar benar membuat aku limbung dan gak mampu tuk berbuat apa apa.. sungguh ini mahakarya yang maha dasyat yang membuat berjuta juta makna dan tiada terkira “
mahesthi said,
4 November , 2009 pada 5:09 am
buatku, puisi yang paling mengena dalam hatiku jika bicara mengenai cinta…
tati thea said,
24 Desember , 2009 pada 5:10 am
puisi yang kudedikasikan untuk orang tercinta.. 🙂
Neetha d'Heart said,
12 Februari , 2010 pada 4:03 pm
‘Aku ingin mencintaimu dgn sederhana’, hmm…adalah cinta tanpa syarat, tanpa basa-basi, tanpa perpengaruh oleh kondisi apapun, biarlah cinta itu ada, just the way it sould be… 😉
pinka said,
13 Februari , 2010 pada 4:57 am
seingatku waktu aku masih SMA, puisi ini hampir selalu muncul di soal2 ujian sastra indonesia,, 🙂
puisi ini unforgettable. 😀
Gatot said,
14 Februari , 2010 pada 3:31 am
sebuah ekspresi kerinduan untuk bisa mencintai secara total, tanpa batasan untuk bisa melebur menjadi Cinta itu sendiri. Sesederhana dari Ada menjadi Tiada, siklus dalam Keabadian Semesta..
Tapi Pak Sapardi bisa itu gak? Kenapa dia sangat ingin ? bla bla bla… banyak pertanyaan dari sisi Kognitif yang berusaha mengimbangi apa yang terjadi dalam sisi Afektif….
Ohhh, Aku ingin berkarya dengan sederhana, dengan daya yang tak dapat dimaknai upaya kepada jasa, yang menjadikannya ……
Happy Valentine…
Mana Puisi puisi mu kawan kawan ? Salam.
trini kusmiah said,
14 Februari , 2010 pada 7:27 am
Ungkapan cinta yang gak neko-neko tapi maknanya dalem banget…..mencintai dengan sederhana tapi bagiku luar biasa tulusnyaaa…
m2nk said,
21 April , 2010 pada 1:04 am
teramat dalam untuk dimaknai, jika hanya dengan kata-kata
santi said,
25 April , 2010 pada 1:57 am
maaf, saya bukan pemerhati puisi… tapi saya penikmat puisi… saya cuma mau tanya… saya baca puisi karya Kahlil Gibran:
“I want to love you simply, in words not spoken: tinder to the flame which transforms in to ash… I want to love you simply, in signs not expressed: clouds to the rain which make them evanesce”
kok sepertinya puisi Sapardi di atas sama seperti puisi Kahlil Gibran ya?
apakah itu terjemahan? mohon penjelasannya..saya masih awam. trimakasih
santi said,
25 April , 2010 pada 2:46 am
maaf..mngkin saya salah… puisi yang saya tulis tuh terjemahan bahasa inggris dari puisinya sapardi ya? saya suka banget puisinya sapardi yg dibahas di atas. benar2 indah : )
Nongkrong said,
29 April , 2010 pada 2:37 pm
mbak santi, jenengan sempat baca Jawapos tanggal 13 Februari gak? disitu juga ada puisi yang “mirip” (ato emang puisi SPD) tapi dikutip dari Kahlil Gibran. sila dicek http://www.jawapos.com/deteksi/index.php?act=detail&nid=51956
triangka said,
30 Juni , 2010 pada 7:05 am
tanpa sempat mengatakan apa-apa kpd api,
kayu rela terbakar sampai jd abu demi hadirnya hangat dan cahaya,
tanpa sempat mengisayaratkan apa-apa kpd hujan,
awan rela menjadi tiada agar hujan turun sehingga hadirlah sejuk dan air untuk kehidupan,
mencintai adalah kt kerja……….jd tdk perlu terlalu banyak kata-kata……
sederhana saja…….dgn tindakan ……………. tp bermakna………
ledhyane said,
16 Agustus , 2010 pada 8:31 am
Dari semua bahasan yg ada ttg puisi ini..saya paling klik dgn komen ini..hehe
mentari said,
10 Juni , 2011 pada 4:10 am
ijin copy yah,,,, q suka bahasannya
Dina Pristyowati said,
18 September , 2012 pada 1:23 am
Saya ijin copy yah…. 🙂
Thank you
aldi said,
15 Agustus , 2010 pada 2:34 am
puisi yang sangat menyentuh hati…. 🙂
Brotoadmojo said,
27 September , 2010 pada 5:05 pm
sajak yang indah dari Pak Sapardi, banyak pelajaran berharga yang dapat dimbil dari sana…
razanne hikaru said,
2 April , 2011 pada 6:12 am
Benar-benar sebuah pengorbanan cinta yang tak sesederhana kata “sederhana” itu sendiri
rochmad afandi said,
7 April , 2011 pada 10:06 am
Menurutku, Sapardi Djoko Damono hendak memaparkan bahwa cinta yang sederhana itu adalah cinta yang tidak menuntut apa-apa ,meskipun tersiksa. Meskipun ada api yang membakar kayu sampai jadi abu, dia menahan kemarahan. Demikian pula ketika ada hujan, sang awan berterima kasih karena meskipun dia tiada, hujan pada akhirnya bermanfaat bagi kehidupan yang lain. Jadi pada akhirnya sederhana adalah menahan kejengkelan dan selalu berterima kasih atas keadaan.
putri said,
11 April , 2011 pada 2:27 pm
Puisi itu sangat indah…..
Dan puisi itu kupersembahkan kepada fafa…..
Mudi Riyanti said,
11 April , 2011 pada 3:42 pm
Puisi menginspirasiku untuk mencintai siapa pun dengan tulus. Komentar Kang Nur luar biasa…Menambah kaya. Thanks.
virgo style said,
26 Oktober , 2011 pada 9:38 am
puisi ini sangat menyentuh hatiku , karena sangat cocok dengan perjalanan cintaku.
rumi said,
26 Februari , 2012 pada 10:58 am
Sebuah puisi yang kereeen abizzz…mengingatkan aku pada cinta sejati dari ketulusan hati bukan cinta ambisi yang penuh napsu
Mencari Rupa Cinta Dalam Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono | blog.jambubol.net said,
1 Oktober , 2012 pada 12:23 pm
[…] disadur dari sini […]