Kritik Sastra Marxis

28 April , 2008 at 7:55 pm (Filsafat, Kritik Sastra, Marxisme, Sastra)

Pendahuluan
Kritik sastra Marxis didasarkan pada teori politik dan ekonomi filsuf berkebangsaan Jerman, Karl Marx. Pada karya The German Ideology and The Communist Manifesto (Ideologi Jerman dan Manifesto Komunisme), yang ditulis bersama Frederich Engels, Marx menawarkan suatu model historis di mana kondisi-kondisi politik dan ekonomi mempengaruhi kondisi-kondisi sosial. Marx dan Engels menanggapi ketimpangan sosial yang terjadi karena perkembangan Kapitalisme. Secara khusus, teori-teori mereka terbentuk untuk menganalisa bagaimana fungsi masyarakat di dalam keadaan revolusi dan perubahan yang konstan (terus-menerus).

Perspektif Materialis pada Sejarah
Marx dan Engels menggunakan teori dialektika Hegel yang menyatakan bahwa sejarah berlangsung melalui resolusi atas pertentangan di dalam beberapa aspek realitas tertentu dan keduanya mengedepankan deskripsi para materialis tentang sejarah yang berpusat pada pergolakan dan penekanan pada masyarakat. Karena masyarakat membentuk model-model produksi yang rumit, mengakibatkan peningkatan stratifikasi dan ketegangan yang terjadi dan menyebabkan perubahan di dalam masyarakat. Contohnya ialah penggunaan mesin-mesin berat ke dalam sistem ekonomi feodal telah menyebabkan timbulnya struktur sosial dan pergerakan ke arah Kapitalisme.

Dasar dan bentuk superstruktur
Di dalam dialektika sejarah Marx terdapat gagasan yang menyatakan bahwa kehidupan sosial individu dipengaruhi kekuatan politik dan ekonomi. Marx menulis, “bukan kesadaran manusia yang mebentuk realita, tetapi, sebaliknya, realitas sosial yang membentuk kesadaran.” Secara sederhana, kelas sosial seseorang terlahir berdasarkan sudut pandangnya.
Marx, kemudian, memperluas konsep determinasi tersebut sebagai konsep sentral Marxisme—yaitu sistem dasar dan superstruktur. Sistem dasar adalah sistem ekonomi dimana superstruktur berada; aktivitas cultural—termasuk filsafat dan literatur—adalah bagian superstruktur. Pada kritik Marxis, sistem dasar ekonomi masyarakat membentuk atau mempengaruhi kecenderungan dan corak literatur; ini merupakan relasi antara pengaruh sistem dasar dan superstruktur yang keduanya merupakan inti kritik Marxis.

Ideologi
Menurut Marx, karena superstruktur ditentukan oleh nilai dasar, maka bisa dipastikan ia menyokong ideologi-ideologi nilai dasar tersebut. Ideologi-ideologi adalah beberapa ide, gagasan dan kecenderungan yang merubah dan didapat individu melalui kehidupan bermasyarakat. Ia menampilkan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan masyarakat secara keseluruhan, dan juga mencegah individu memandang bagaimana sebenarnya fungsi masyarakat. Literatur, sebagai produk budaya, adalah suatu bentuk ideologi, yang memperkuat kekuasaan kelas atas. Sebagai contoh, pada abad ke-18, literatur telah digunakan oleh sekelompok golongan berbahasa Inggris kelas atas untuk menunjukkan dan memperlihatkan sistem nilai dominan kepada golongan yang lebih rendah.

Georg Lukacs dan Realis Sosial
Ada banyak perbedaan pendapat antarkritikus sastra Marxist berkaitan dengan hubungan antara ideologi dan literatur. Karena sejak adanya karya Marx, teoritikus dan Realis sosial Soviet/Rusia, Georg Lukacs, dan Louis Althusser secara berangsur-angsur telah memodifikasi atau memperluas konsep awal Marx. Realis sosial Soviet percaya bahwa ideologi sebagai bagian superstruktural (bangunan struktural), harus sesuai dan berlandaskan pada nilai dasar ekonomi masyarakat. Menurut mereka, literatur haruslah secara jelas mencerminkan nilai dasar ekonomi sebab ia tidak akan berfungsi ketika bernaung di luar nilai dasar yang sudah jelas atau model superstruktural. Sebagaimana realis sosial dan kritikus Georg Lukacs yang merasakan bahwa hanya format fiksi realistis yang secara artistik dan politis lebih sah dan valid. Tetapi Lukacs dan para realis sosial memiliki perspektif yang terbatas. Mereka tidak sadar telah menyimpang keluar dengan karya mereka termasuk pembacaan literal tentang sistem nilai dan bentuk superstruktural.
Hal ini sangat meragukan bahwa Marx dan Engels menggunakan pendekatan deterministik pada literatur. Di dalam karya mereka, literatur bukanlah melulu suatu refleksi pasif dari dasar-dasar ekonomi. Meskipun mereka mengakui literatur tidak bisa merubah sistem dan masyarakat dengan sendirinya, mereka menganggap bahwa literatur dapat menjadi unsur aktif dalam beberapa perubahan.

Antonio Gramsci
Teoritikus Italia, Antonio Gramsci dengan konsep hegemoninya, mempertimbangkan untuk melakukan pembacaan yang fleksibel pada model sistem dasar dan superstruktur. Gramsci percaya bahwa ideologi tidak dapat menjelaskan tingkatan manusia di dalam menerima nilai-nilai dominan. Dia juga menyadari, dengan kritisi Marxis lainnya bahwa model sistem dasar dan superstruktur sangalah kaku untuk meliputi produk-produk budaya yang tidak menggunakan nilai-nilai dominan.
Sejalan dengan hal tersebut, gagasan hegemoni Gramsci adalah suatu kelanjutan konsep di balik ideologi. Hegemoni adalah sejenis penipuan di mana individu melupakan keinginannya sendiri dan menerima nilai-nilai dominan sebagai pikiran mereka. Sebagai contoh bahwa pada realitas sosial pikiran mereka telah dikonstruksi adalah seseorang berpikir bahwa belajar di perguruan tinggi adalah hal yang benar dan langkah penting dalam kehidupan. Kemudian literatur, mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang menguatkan nilai-nilai dominan dan adakalanya mempertanyakannya. Sebagai contoh, para penulis perempuan tentang fiksi sentimentil pada abad ke-19 menggunakan konvensi naratif tertentu untuk menguatkan nilai-nilai dominan, sementara penulis seperti Jane Austen menggunakan konvensi yang sama untuk mengikis nilai-nilai dominan serupa.

Louis Althusser
Teoritikus Perancis, Louis Althusser mempertimbangkan hubungan antara literatur dan ideologi. Baginya, hal ini juga meliputi pemahaman tentang hegemoni. Althusser menyatakan bahwa ideologi dan hegemoni—seperti halnya literatur—memperlihatkan suatu versi konstruksi realitas, di mana tidak merefleksikan kondisi aktual kehidupan. Jadi, literatur disamping tidak hanya menggambarkan ideologi, namun juga dapat direduksi menjadi bagian dari ideologi. Literatur mungkin dapat diposisikan di dalam ideologi, tetapi juga terdapat jarak antarkeduanya. Hal sedemikian dengan membiarkan pembaca itu untuk memperoleh suatu kesadaran ideologis di mana ia disandarkan. Sebagai contoh, sebuah novel boleh menampilkan dunia dengan segala cara untuk mendukung ideologi- ideologi dominan. Dan sebagai karya fiksi, ia juga harus menampilkan ideologi tersebut. Jadi, sekali lagi, meskipun literatur tidak dapat menrubah masyarakat, ia dapat menjadi bagian dari suatu perubahan.

Konsep Sentral Marxis
Walaupun para kritisi Marxis telah menafsirkan Teori Marx dalam cara berbeda, sebagai Marxis mereka akhirnya tetap kembali pada beberapa konsep sentral Marx: gagasan tentang keadaan sosial mempengaruhi kesadaran, dan sistem dasar atau bentuk superstruktur. contohnya, Kritikus Inggris, Raymond Williams menggunakan beberapa istilah sebagai budaya peninggalan dan budaya berkembang untuk merubah sistem dasar atau bentuk superstruktur, bukan mempertanyakannya. Sepintas, istilah-istilah seperti hegemoni, yang bukan bagian dari Teori Marx, digunakan kritikus untuk memenuhi aplikasi Konsep Marxis yang lebih besar.
Marxisme dan Literatur
Kritik sastra Marxis lebih cenderung pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra. Hal Ini sesuai sebab Marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan dan pertentangan di dalam masyarakat. Kritik sastra Marxis juga memandang literatur sangat dekat terhubung dengan kekuatan sosial dan analisa mereka atas literatur yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sosial paling besar. Sejak Marxisme sebagai sistem kepercayan yang dapat digunakan untuk analisa masyarakat pada tingkat level paling besar dan terperinci, Kritik sastra Marxis sejatinya adalah bagian dari upaya dan usaha besar untuk membongkar bagian dalm masyarakat.

Marxisme dan Teori Lain
Kritik sastra Marxis dapat dianggap sebagai reaksi pada teori-teori rigid para New Critics (Kritisi Baru). Tidak seperti mereka, yang memandang teks sebagai kesatuan yang utuh, Marxis secara umum memusatkan pada tensi (ketegangan) yang tak terpecahkan dalam karya literatur.
Walaupun kritik Marxis sama-sama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kritik Strukturalis dan kritik post-strukturalis, ia sangatlah berbeda di dalam penolakan untuk memisahkan literatur dan bahasa dari masyarakat. Krtitk Marxis adalah materialis, karena itu ia lebih umum dengan teori yang berpusat pada bagaimana fungsi literatur di dalam sosial, politik dan strukutr ekonomi dibandingkan dengan teori yang hanya bertumpu pada teks. Kritik Marxis mempunyai pengaruh besar pada feminisme, historisisme baru, dan cultural studies (studi kultural).
Sebagai sistem yang mencari sebab di bawah permukaan masyarakat, kritik Marxis mempunyai kesamaan secara umum dengan kritik psikoanalisa. Faktanya, adalah kemungkinan untuk membuat perbandingan tajam antara corak Dasar dan Superstruktur Marxis dan pemikiran Freudian tentang ketidaksadaran dan kesadaran.

Referensi
Eagleton, Terry. Marxism and Literary Criticism. London: Metheun Books, 1976.
Selden, Ramden. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Lexington: University Press of Kentucky, 1985.
Williams, Raymond. Marxism and Literatur. Oxford: Oxford University Press, 1977.

Bacaan lebih lanjut

Baxandall, et al. Marx and Engels on Literatur and Art. New York: International General, 1973.
Meski Marx dan Engels tidak menfokuskann diri pada literatur di dalam teori dasar mereka, mereka sangat tertarik dan yang dipengaruhi oleh literatur. Buku ini mengumpulkan sebagian tulisan mereka dan pendapat tentang literatur.
Craig, David, ed. Marxists on Literatur. Harmondsworth: Penguin, 1975.
Buku ini adalah koleksi esei oleh berbagai Kritikus Marxist. Ia menawarkan berbagai pendekatan literatur dari perspektif Marxist.
Eagleton, Terry. Criticism and Ideology. London: New Left Books, 1976.
Meski secara spesifik bukan tentang kritik berkaitan kesusasteraan Marxist, buku ini menawarkan deskripsi dari banyak teori kontemporer dari Perspektif Marxist.
Eagleton, Terry. Marxism and Literary Criticism. London: Methuen, 1976.
Buku ini adalah pengenalan yang sangat jelas terhadap aplikasi teori Marx pada studi literatur.
Forgacs, David. “Marxist Literary Theories.” Modern Literary Theory, eds. Jefferson and Robey. London: Batsford, 1986.
Buku ini menguraikan berbagai jenis teori kesusasteraan; dan bab tentang Teori Marxist adalah pengenalan yang cukup bagus.
Williams, Raymond. Marxism and Literatur. Oxford: Oxford University Press, 1977.
Dalam buku ini, Williams mencoba memodifikasi konsep dasar Marxisme untuk memungkinkan pembacaan lebih rumit pada literatur.

Artikel ini di-Alihbahasakan oleh TB….dari situs wikipedia.com

3 Komentar

  1. Qinimain Zain said,

    (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

    Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
    (Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

    JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

    Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

    Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

    Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

    Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

    SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

    Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

    Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

    Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

    SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

    Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

    Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

    Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

    SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

  2. saksi satria said,

    jadi sebetulnya unsur2 penting dari kritik sastra marxis itu apa saja?

  3. wisnu said,

    jika kita ingin menggunakan teori ini, langkah2nya apa saja?

Tinggalkan komentar