Indonesia Batik Mematen

8 Oktober , 2009 at 5:57 pm (Cuplik, Teh Hangat)

Hari Batik Nasional
Oleh : Titiek Hariati

sumber: kabarindonesia.com

KabarIndonesia Tanggal 2 Oktober 2009 kemarin, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia memproklamirkan batik sebagai miliknya yang sah dan diakui PBB sebagai World Heritage. Di kantor-kantor, sekolah-sekolah dan jalanan, hari ini banyak orang mengenakan batik, bahkan di layar kaca TV para musisi muda yang biasanya memakai T-shirt dan jeans, hari ini tampil sangat Indonesia.

Mengharukan bahwa sudah cukup lama bangsa ini tidak menggemakan sebuah gerakan nasional yang menggugah rasa nasionalisme dan kecintaan pada seni budaya Indonesia. Tanpa dikomando oleh pemimpin-pemimpin negeri ini, rakyat dengan penuh kesadaran melakukan sendiri aksinya. Padahal sempat membayangkan bahwa pada tanggal 1 Oktober malam hari akan ada menteri atau presiden yang akan menghimbau
masyarakat untuk mengenakan batik pada tanggal 2 Oktober.

Sepenting itukah batik? Ya. Bahwa batik merupakan salah satu simbol keperkasaan budaya leluhur kita yang terwariskan secara turun-temurun dan menjadi salah satu ikon seni budaya kita di mata dunia. Pengakuan dunia internasional ini penting karena kalau kita tidak mengupayakannya, bisa saja satu saat batik diakui sebagai warisan budaya bangsa lain. Baca entri selengkapnya »

Permalink 3 Komentar

Ke(te)la(n)jangan

22 Februari , 2008 at 8:44 pm (Cuplik, Filsafat, Teh Hangat)

690441.jpg

“Dan keduanya bertelanjang diri, seorang laki-laki dan istrinya, dan mereka tidak malu-malu,” Genesis, 2, 25.

[6 ayat selanjutnya]

“dia (hawa) mengambil buah dan memakannya, dan juga memberikannya pada suaminya, dia pun memakannya.

Dan mata mereka terbuka, dan mereka tahu bahwa mereka telah telanjang; mungkin terlalu banal untuk memastikan. karena keduanya diciptakan dari uraian yang sama dan waktu yang bersamaan

Satu menit sebelumnya, satu menit setelahnya dan di antaranya—momen pembuka rahasia, dihasilkan melalui metode yang bahkan seorang David Hume pun menerimanya—dan itulah mereka, Adam dan Hawa, yang memesrakan ketelanjangan, kebenaran yang saru—Tubuh.

Dan mereka menggabung dedaunan ara bersama, dan menutupi tubuhya

Bagaimanapun, pandangan pertama sangatlah mudah rusak. Dedaunan ara sangat sensitif pada tiupan angin, pada gerakan kasar, dan waktu seringkali mereka habiskan untuk menyembunyikan daging mereka, menutupi ketelanjangan mereka. Petanda [stabil] menjadi tidak stabil, referen terlihat di sini dan di sana.

Meminjam bahasa Lyotard ((The Postmodern Explained: Correspondence, 1982-1985), ketidakstabilan tanda ini menimbulkan ketakutan dan gemetar, penelanjangan referen dan kegagalan menyesuaikan tanda referen, yankni yang lain [the others], menasbihkan masalah identitas. Jika identitas orang lain tidak diselesaikan, begitupula identitas saya. Ini merupakan kemampuan ,megenali dan menerjemahkan makna tanda dengan cepat—bukan pada referennya, yang selalu disembunyikan—tetapi makna yang muncul dari konteksnya, keadaan struktural—yang membantu penciptaan kesadaran diri, dan identitas. Semakin cepat dan stabil proses penukaran dan pengenalan tanda ini, semakin stabil pula imbas realisme, semakin solid pula Fantasi Realitas.

Mengejutkan sekali. Titik pusat identitas yang berkenaan dengan tuhan dan membuatnya bereaksi dengan menyediakan Adan dan Hawa beberapa pengetahuan praktikal. Itulah bagaimana membentuk dan membangun tanda-tanda yang stabil.

“Bagi Adam dan juga Hawa, apakah Tuhan menciptakan mantel kulit dan menutupi tubuh mereka?”
Tidak Tuhan menganugerahkan kita dengan cahaya, atau kobaran api menyala; Dia juga menganugerahkan petunjuk tertentu. Satu-satunya praktik sistem yang Tuhan berikan adalah Sistem Kebiasaan atau Mode, Le Système de la mode, sebuah petanda-petanda bermakna: Fantasi menutupi tubuh kita.
(ditelanjangi, dialihbahasakan, disunting oleh tongkronganbudaya dari situs digitalphilosophy)

Melihat Ketelanjangan sekarang tidak saru lagi. Budaya Indonesia memang sudah benar-benar ditelanjangi dengan maraknya tradisi telanjang menelanjangi di indonesia. Kapan rasa malu-malu Adam melihat Hawa, dimiliki oleh para Adam Indonesia. Begitupun sebaliknya.

Permalink 11 Komentar

Chairil (Tidak) di Indonesia

22 Februari , 2008 at 7:13 pm (Chairil Anwar, Cuplik, Puisi, Sastra, Teh Hangat, Tokoh)

Andai Saja Tulisan ini terlihat di rumah-rumah di Indonesia. Tentu, Chairil Anwar tidak akan menjadi “kumpulan binatang jalang yang terbuang”

Barangkali nama beliau mulai menghilang dari peredaran. Riskan yang, entah, menjadi

ketidaksadaran.

anwar1.jpg

Grafiti ini terlihat memukau di Jalan Kernstraat 17a (zijgevel), Leiden Belanda. Kami kira di Indonesia pada awalnya. Kata Leiden di penjelasan situs sungguh merisaukan. Puja orang luar, Remuk Orang Dalam.

Ini cuplikan Puisinya:

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(oleh Chairil Anwar, Maret 1943)

_____________________________________________________________________________________

Jika anda juga risau, berbagilah bersama kami. Asal Kopi dan Rokok beli sendiri.

_____________________________________________________________________________________

Data dicuplik dari

http://www.muurgedichten.nl/anwar.html

Permalink 2 Komentar