Indonesia Batik Mematen

8 Oktober , 2009 at 5:57 pm (Cuplik, Teh Hangat)

Hari Batik Nasional
Oleh : Titiek Hariati

sumber: kabarindonesia.com

KabarIndonesia Tanggal 2 Oktober 2009 kemarin, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia memproklamirkan batik sebagai miliknya yang sah dan diakui PBB sebagai World Heritage. Di kantor-kantor, sekolah-sekolah dan jalanan, hari ini banyak orang mengenakan batik, bahkan di layar kaca TV para musisi muda yang biasanya memakai T-shirt dan jeans, hari ini tampil sangat Indonesia.

Mengharukan bahwa sudah cukup lama bangsa ini tidak menggemakan sebuah gerakan nasional yang menggugah rasa nasionalisme dan kecintaan pada seni budaya Indonesia. Tanpa dikomando oleh pemimpin-pemimpin negeri ini, rakyat dengan penuh kesadaran melakukan sendiri aksinya. Padahal sempat membayangkan bahwa pada tanggal 1 Oktober malam hari akan ada menteri atau presiden yang akan menghimbau
masyarakat untuk mengenakan batik pada tanggal 2 Oktober.

Sepenting itukah batik? Ya. Bahwa batik merupakan salah satu simbol keperkasaan budaya leluhur kita yang terwariskan secara turun-temurun dan menjadi salah satu ikon seni budaya kita di mata dunia. Pengakuan dunia internasional ini penting karena kalau kita tidak mengupayakannya, bisa saja satu saat batik diakui sebagai warisan budaya bangsa lain. Baca entri selengkapnya »

Permalink 3 Komentar

Blogger; Status (Kelas) Sosial dari Dunia Maya

9 Desember , 2008 at 4:36 pm (Teh Hangat) (, , , , )

Oleh: Muhammad Zaini

Mungkin tak seberapa dalam saya mengenal dunia blog, namun saya sedikit  tergelitik, pasalnya minggu lalu tanggal 23 November, saya membaca uraian  menarik di Kompas dengan judul “Mabuk Dunia Maya, Sampai Lupa Etika”.  Saya tidak terlalu rajin membaca dan membeli koran, tetapi seketika koran  itu tergeletak di kamar salah seorang teman, mata saya merayap sampai di  judul itu. “Wah, etika dunia maya?” saya tertarik, sebab mungkin saya juga  punya blog di dunia maya atau seolah seolah-olah kata-kata itu menuding  saya “apa kamu beretika?” he..he..
Tapi etika bagaimana yang dimaksud? Namun terlepas dari persoalan tentang  etika (yang saya kurang memahami prihal etika), ada beberapa kesimpulan  yang di benak saya prihal dunia maya, terutama apa yang disebut dengan  blogger. Saya terbayang sosok dan pemikiran Marx (saya bukan Marxis, neo,  atau komunis) tentang status social. Mungkin ia harus hidup lagi di sini, di  dunia maya, dan mungkin ia akan terkejut, dan lebih parah lagi, ia akan  menambahkan footnote panjang untuk apa yang disebut dengan blogger di buku Das Kapitalnya. Bukan di dunia nyata, tapi di dunia maya. Saya kira sosiolog perlu meneliti ini lagi, dan menamakan komunitasnya sebagai masyarakat blogger, he..
Sekilas tentang blogger di mata saya, ia merupakan status baru dalam social yang entah sejak kapan ia lahir. Menurut Wicaksono salah satu wartawn Tempo yang juga mempunyai blog ndorokakung.com yang diurai di Kompas, di Indonesia, blog dikenal sejak tahun 2004 dan mulai sangat disenangi pada 2007. Sedang di dunia Internasional, blog dikenal sejak 1998. Lalu status seperti apakah sosok blogger di benak saya? Yang jelas bukan borjuis atau ploretar seperti yang dikatakan Marx. Sekali lagi atas dasar bayangan dan tanpa penelitian yang ilmiah, bagi saya sosok blogger hampir mirip dengan sosok borjuis tanpa exploitasi. Leptop atau komputer dimuka dengan segelas kopi dan beberapa bungkus rokok dan kacamata yang sedikit agak kusut, he..

Bukan, bukan sepenuhnya itu maksud saya. Kalau di dunia nyata ada sosok tokoh agama, kapitalis, rakyat miskin, ploretar dan semacamnya (entah apa bedanya??), di dunia maya ada yang namanya blogger. Seperti kata Yasraf yang menyebut dunia maya ini dunia hiperrealitas, maka mungkin saya menyebut status blogger, status hiperrealitas. Sebab, ketika saya serius membaca tentang dunia blogger di Kompas, saya seolah-olah berada pada dunia yang sebenarnya, benar-benar nyata. Tapi saya tidak tahu apa sebenarnya hiperrelitas, apakah nyata dari yang sebenarnya tidak nyata atau tidak nyata dari yang nyata. Entahlah.. (maaf pak Yasraf, saya gurau soal status hiperrealitas, he..). tapi bagaimana jika benar, akan berkembang suatu saat masyarakat blogger? Kelas seperti apakah yang akan disebut oleh Marx?
Seperti telah dijelaskan di Kompas, bahwa beberapa komunitas blogger telah bergerak di dalam kegiatan kemasyarakatan. Memang, mereka (blogger) merupakan bagian dari msyarakat di dunia nyata, akan tetapi saya melihat berbeda jika kegiatan itu mengatas namakan komunitas blogger. Oleh karena itu saya sedikit punya asumsi akan berkembangnya komunitas tersebut sebagai masyarakat baru yang hidup di dunia maya dan mengada di dunia nyata. Jadi tidakkah ini menarik untuk di kaji, walaupun apa yang saya utarakan tidak berdasar ilmiah (tanpa dasar) akan tetapi sekedar uneg-uneg. Akan tetapi mereka dan apa yang telah diperbuat, tak lain merupakan bagian dari budaya yang mulai berkembang di masyarakat kita.

Jadi, ada apa dengan etika dunia maya? Yang jelas sangat tidak bisa dipisahkan dengan dunia nyata. Etika dunia maya menentukan mental masyarakat kita.. begitukah yang disebut hiperrealitas pak Yasraf? (saya punya buku anda dan saya tidak paham, he..)

Permalink 5 Komentar

Foto: Pameran Lukisan Lentera 2008

26 Juni , 2008 at 5:58 pm (Galeri, Teh Hangat)

Di tengah isu-isu global warming dan upaya menghijaukan bumi, tak pelak banyak kalangan yang menunjukkan rasa kepeduliannya berdasarkan kreatifitasnya masing-masing. Tanggal 13 Juni 2008, saya berkunjung ke Perpustakaan Kota Malang bersama seorang sahabat, Abd. Qorib H, untuk melihat Pameran Seni Rupa yang bertajuk Rumah Pohon yang digelar oleh UKM Seni Rupa Lentera Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Saya tidak akan berkomentar banyak. Silahkan nikmati galeri berikut.

Untitled

Komen: Mus: Nabi Adam yang sedang menikmati memakan makan buah Khuldi.
Bayu (anggota UKM Lentera) : “itu mah orang beol mas.”
Zaini: “Sayang pohon pohon tak bisa menyesal seperti diriku”
Baca entri selengkapnya »

Permalink 12 Komentar

Rumput di Seberang Itu Semakin Hijau

24 Mei , 2008 at 5:42 pm (Gesang, Teh Hangat, Tokoh) (, , , )

Potret (Satu) Khazanah Indonesia (Saja)

TongkronganBudaya–Di salah satu koran harian Indonesia, SURYA, ada kabar menarik. Tercatat tanggal 13 April 2008, diberitakan (meski hanya berbentuk kolom kecil) bahwa lagu Bengawan Solo hasil cipta kreatif Gesang Martohartono, ternyata menarik minat kesenian dan digandrungi masyarakat Jepang. Lelaki sepuh berumur 91 tahun ini dianggap sebagai ikon penghubung persahabatan antara kedua Negara, Indonesia dan Jepang. Beliau diberi kopi DVD film drama-dokumenter berjudul Benang Merah yang baru saja diterimanya dari Komite Hubungan Diplomatik-Jepang 50 tahun di Solo, Jawa Tengah, Sabtu12 April 2008.

Kabar ini begitu mencerahkan. Meski kisah-kisah sedih dan memilukan tentang penyerobotan cipta kreatif kebudayaan masih belum terselesaikan sepenuhnya. Lebih sederhana, sebut saja kasus dua Negara bertetangga, Indonesia dan Malaysia. Belum kelar rasa sakit hati akibat direbutnya pulau Ligitan oleh Malaysia, Indonesia kembali menuai cemas dan dibuat gemas oleh ulah negeri Jiran tersebut dengan dipampangkannya lagu Rasa Sayange dan Kesenian Reog Ponorogo di dalam situs pariwisata mereka. Bangsa Indonesia seperti kebakaran jenggot. Begitulah, sifat bangsa ini cenderung tidak berubah atau malah membingungkan. Kita seperti terbiasa melawan setelah tindakan, bukan bertindak untuk melawan atau penanggulangan. Kita sering terjebak dalam isu bukannya mencipta isu dan gagasan. Seringkali, kita tidak pernah menawarkan isu, yang kelak akan menjadi perhatian dan kajian tentang Indonesia oleh kawasan Negara lain. Ajaran yang sebenarnya tertanam bagi mereka yang telah mengecap pendidikan dasar, lebih baik mencegah daripada mengatasi, tak lebih sebagai kembang hias yang selalu diletakkan ketika acara, kemudian hilang entah di mana.

Coba menghitung kembali kebudayaan yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Di bagian jawa timur saja—tanpa perlu melibatkan pulau lainnya, begitu banyak ragam Budaya yang perlu dicagarkan kembali. Di pulau Madura, nuansa tradisional masih begitu kental, dengan perilaku masyarakat yang masih dominan dikuasai oleh Budaya lokal. Kerapan madura, pencak, carok, parikan, kejung (lagu berima khas madura) dan lainnya, seyogyanya terus dilestarikan dan mendapatkan perhatian dari institusi pemerintah regional serta nasional. Bilamana madura seperti itu, apalagi Jawa. Tiap kabupaten memiliki tindak Budaya dan ritus Budaya yang berbeda pula, nilai historis dan nilai kedaerahan itu seterusnya harus tertanam di benak segala publik dan dilestarikan hingga ke anak cucu. Marilah di Momen Kebangkitan ini, semuanya bangkit. Sektor ekonomi, sektor ekologi dan sektor Budaya. Bangkit Indonesia!!!

Permalink 4 Komentar

Bahasa Jawa versus Bahasa Madura

28 April , 2008 at 8:04 pm (Linguistik, Teh Hangat)

Oleh: Musthafa Amin

Tamen magik tombu sokon—Tabing kerrep bennyak kalana
Mompong gik odik kotu parokon—Mak olle salamet tengka salana.
(Menanam biji asam tumbuh sukun—Geddhek yang rapat banyak kalajengkingnya
Mumpung masih hidup harus rukun—Agar selamat tingkah lakunya)

Parikan Madura yang dikidungkan Heru Pasetiyawan, pemenang ngremo tingkat Jawa Timur, Festival Cak Durasim, Surabaya 2007

Dari obrolan ringan ternyata menimbulkan banyak inti pokok permasalahan yang melanda diri, masyarakat dan dunia namun jarang sekali kita sadari. Hasilnya, jarang ada solusi yang tepat dan lebih banyak mengira-ngira dengan referensi yang cenderung dari lisan. Valid? Ah tidak mungkin, namanya juga obrolan menghabiskan malam.

Sekitar tengah malam, jam sebelas malam, di komisariat IPNU UIN Malang, penulis berbincang dengan salah satu kawan, yang berasal dari Pasuruan ditemani secangkir kopi dan separuh isi satu pak rokok. Ngelindur kesana kemari, tak juntrung serius membahas apapun. Lebih banyak bernostalgia daripada berdiskusi. Namun suasana cair itu tiba-tiba terhenti ketika sang madurese speaker (penulis) tidak menemukan kosa kata jawa untuk melanjutkan omongannya. Berhubung saya hidup di Jawa Timur, tentu saya harus bisa beradaptasi dengan bahasa jawa. Bentuk komunikasi bahasa yang terbangun di Malang adalah bahasa Jawa, baik dengan tiga model bahasa Jawa (ngoko, kromo, kromo inggil) ataupun bahasa jawa Malangan (cenderung dibolak-balik). Karena tidak menemukan kosa kata yang dimaksud, akhirnya saya mencampuradukkan (code-switching–CS) bahasa saya (madura) dengan bahasa Jawa yang baru saja saya ujarkan. Sedikit lama, dia mengernyitkan dahi, kemudian dia hanya tergelak dan mengangguk-angguk mengerti. Saya pun heran, apakah dia memahami arti bahasa madura yang saya ucapkan ataukah dia memahami perkataan saya berdasarkan konteks. Berdasarkan teori CS, tindakan ini dilakukan demi mempermudah komunikasi agar pembicara bahasa A (Jawa) tidak perlu terlalu lama memikirkan kosa kata yang sesuai, sehingga dia menggunakan bahasa B (Madura). CS pun bisa membantu etnik minoritas, seperti saya mempertahankan identitas budaya saya, seperti bahasa slang yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan identitas dan pula membedkan dari masyarakat yang lebih besar. Tapi saya lupa, bahasa A dan B itu khan seharusnya ada keselarasan, baik antara bahasa pertama (first language) dan bahasa kedua (second language) dan bahasa kedua orang yang berbicara, apakah sama atau tidak. Untung saja, sejak dia bergaul dengan madurese speaker seperti saya, dia memahami bahasa saya.

“Sepertinya ada kesamaan ya mus, antara Madura dan Jawa?”
“Maksudnya?”
“Ya, tadi khan kamu sebutkan, bahasa Madura pun dibagi menjadi tiga (enja’-iya, enggi-enten, enggi-bunten), sepertinya ada kesamaan. Bukankah dalam bahasa kromo inggil dan enggi-bunten (sebagai bahasa tertinggi keduanya) sering ada kosa kata yang serupa. Seperti panjenengan (kosa kata untuk merujuk kepada lawan bicara dengan halus). Entah kenapa aku paham bahasamu tadi,”ujarnya sambil menggaruk kepala.

Aku pun garuk-garuk kepala. Gak paham juga. Memang sebagian ada yang sama. Begitu pula halnya antara bahasa Indonesia (BI) dan Bahasa Jawa (BJ) atau BI dan Bahasa Madura (BM). Kami bisa menerka, beberapa kata di BI adalah kata serapan dari kedua bahasa lokal tersebut. Pun begitu, kedua bahasa daerah tersebut, sekarang mulai cenderung menyerap BI. Atas hasil kelakar, tanpa ada penelitian menyeluruh, hasil bincangan kami merujuk ke sana. Sebut saja kata roma dan bungkoh, dua kosa kata BM ini sama-sama bermakna rumah. Ada keserupaan morfologis antara roma dan rumah. Kawanku pun meyimpulkan asal-asalan, roma adalah kata serapan BM dari BI. Bagaimana pula dengan omah (BJ yang juga berarti rumah). Kawanku menjawab, “itu karena BI menyerap BJ.” “Ah, dasar orang Jawa.” Dia pun menimpali celetukanku barusan, “Ah, dasar orang Madura.” Kami pun tertawa terbahak-bahak.

Beralih pada beberapa kesamaan antara BJ dan BM, hasil bincang ngalor-ngidul kami menyatakan. Kesamaan itu terjadi karena asal-muasal BM adalah BJ. Melihat struktur geografis, sangat mustahil manusia pertama adalah orang Madura, melainkan Jawa. Beberapa orang Jawa yang menemukan pulau Madura, akhirnya menetap di sana. Atas dasar konstruksi bahasa, mereka pun berkomunikasi seadanya dengan BJ dan jika menemukan suatu hal yang baru mereka pun membentuk bahasa baru sebagai naluri alamiah berbahasa mereka. Alasan kenapa mereka tidak menggunakan BJ, bisa jadi karena kosa kata BJ mereka tidak begitu lengkap dan akhirnya hasil perilaku bahasa mereka menjadi cikal bakal bahasa madura. Mereka yang barangkali terdampar di pulau Madura, sangat kesulitan untuk bepergian kembali ke Jawa karena kesulitan transportasi, sehingga mereka pun menetap di pulau Madura dan mencipta bahasa baru. yach, ini konsep pemerolehan bahasa yang mengacu pada human resourches (pola interaksi dengan manusia) dan natural resourches (pola interaksi dengan alam. Konsep milik Plato onomatopoeia (semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi terakhir dengan ejekan dan karikatur) pun bisa dipakai di sini. Dan bisa jadi pula, manusia Jawa pertama berasal dari pulau Madura. Haha

Obrolan ringan ini berakhir tanpa penjelasan. Tiada bukti ilmiah yang bisa diajukan. Yang ada dibenak kami, bahasa lokal sudah dicemari bahasa Indonesia dan seterusnya, BI di-KO oleh bahasa Inggris dengan perilaku nginggris tokoh-tokoh bangsa.

Permalink 3 Komentar

Next page »